oleh:
Esti Pratiwi / 11140092
Ilmu Perpustakaan kelas
PENDAHULUAN
Sunan Kalijaga merupakan wali yang namanya paling
banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan
Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis (mencari penyesuaian) dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Salah satu metode dakwah yang
digunakan Sunan Kalijaga adalah ajaran dan dzikir melalui tembang lir ilir. Tak
banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya tembang ini bukan sekedar tembang
dolanan biasa. Ada makna mendalam terkandung dalam tembang sederhana ini.
Topik
ini dipilih karena kita sebagai umat Islam harus mengerti karya-karya para
Wali, salah satunya adalah karya Sunan Kalijaga. Tujuan penulisan artikel ini
untuk menjelaskan kepada masyarakat yang belum mengerti dan mengetahui tembang
lir ilir, arti, makna dan filosofinya.
PEMBAHASAN
Berikut ini adalah isi dari tembang
lir ilir karya Sunan Kalijaga:
Tembang lir ilir:
Lir-ilir,
lir-ilir, tandure wus sumilir.
Tak
ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar.
Cah
angon-cah angon, penekno blimbing kuwi.
Lunyu-lunyu
yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro-dodotiro,
kumitir bedhah ing pinggir.
Dondomono
jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Mumpung
jembar kalangane, mumpung padhang rembulane.
Yo
surak-o… surak hiyo...
Arti
tembang lir ilir dalam bahasa Indonesia:
Sayup-sayup,
Sayup-sayup bangun (dari tidur).
Tanaman-tanaman
sudah mulai bersemi, demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru.
Anak-anak
penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu, walaupun licin tetap panjatlah
untuk mencuci pakaian.
Pakaian-pakaian
yang koyak disisihkan.
Jahitlah
benahilah untuk menghadap nanti sore.
Selagi
sedang terang rembulannya.
Selagi
sedang banyak waktu luang.
Mari
bersorak-sorak ayo...
Makna
tembang lir ilir dalam agama Islam:
Ayo bangkit Islam telah lahir.
Hijau sebagai simbol agama Islam
kemunculannya begitu menarik ibarat pengantin baru.
Pemimpin yang mengembala rakyat
kenalah Islam sebagai agamamu.
Ia ibarat belimbing dengan 5 sisi
sebagai 5 rukun Islam.
Meskipun sulit dan banyak rintangan
sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah.
Guna untuk mensucikan diri dari segala
dosa dan mensucikan aqidah.
Terapkanlah Islam secara kaffah sampai
ke rakyat kecil (pinggiran).
Perbaikilah apa yang telah menyimpang
dari ajaran Islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak.
Mumpung masih hidup dan selagi masih
diberikan kesempatan untuk bertobat.
Dan berbahagialah semoga selalu
dirahmati Allah.
Filosofi
tembang lir ilir:
1.
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir.
Sayup-sayup
bangun (dari tidur), tanaman-tanaman sudah mulai bersemi. Kanjeng Sunan
mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya
telah tiba. Bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di
Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan
ajaran Islam dari para wali. diri kita masing-masing). Dengan berdzikir maka
ada sesuatu yang dihidupkan.
2.
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar.
Demikian
menghijau bagaikan gairah pengantin baru. Hijau adalah simbol warna kejayaan
Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik
hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang
sekitarnya. Ada juga penafsiran yang mengatakan bahwa pengantin baru maksudnya adalah
raja-raja jawa yang baru masuk Islam.
3.
Cah angon-cah angon penekno
blimbing kuwi.
Anak-anak
penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu. Yang disebut anak gembala
disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang
merupakan simbol dari lima rukun islam dan sholat lima waktu. Jadi para
pemimpin diperintahkan oleh Sunan untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan
menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun
Islam dan sholat lima waktu.
4.
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun licin
tetap panjatlah untuk mencuci pakaian Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang
Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah
belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai
pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet. Dengan kalimat ini Sunan memerintahkan
orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima
waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan
untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu
seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.
5.
Dodotiro-dodotiro kumitir
bedhah ing pinggir.
Pakaian-pakaian
yang koyak disisihkan. Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak
orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka
digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
6.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko
sore.
Jahitlah benahilah
untuk menghadap nanti sore. Seba artinya menghadap orang yang berkuasa
(raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Disini
Sunan memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang
telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk
bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.
7.
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane.
Selagi sedang
terang rembulannya, selagi sedang banyak waktu luang
Selagi masih banyak waktu, selagi masih banyak kesempatan, perbaikilah
kehidupan beragamamu dan bertaubatlah.
8.
Yo surako, surak hiyo.
Mari bersorak-sorak
ayo... Bergembiralah, semoga kalian mendapat anugerah dari Tuhan. Disaatnya
nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya bagi mereka yang
telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan
gembira.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam
dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai
perlunya seseorang memperhatikan hidup mereka selama di dunia ini. Jangan hanya
berorientasi pada keduniawian melainkan berorientasikan pada kehidupan dalam
alam kekekalan. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia akan akhir kehidupan dan
membawa pertanggungjawaban pribadi kepada Tuhan. Konsep tersebut dibungkus
dengan kalimat, kanggo sebho
mengko sore. Sore adalah putaran waktu yang menandai habisnya
siang hari sebagai simbol aktifitas. Malam adalah waktu beristirahat yang
menggambarkan kematian. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal
untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Konsep tersebut
dibungkus dalam kalimat, Cah
angon cah angon penekno blimbing kuwi. Buah blimbing itu berbentuk
bintang lima sudut. Ini berbicara mengenai keislaman dengan Rukun Imannya yaitu
Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji.
Daftar
Pustaka
Didik Lukman
Hariri. 2010. Ajaran dan Dzikir Sunan
Kalijaga. Yogyakarta: Kuntul Press.