Sabtu, 15 Juni 2013

Reshume Buku Islam dan Kebudayaan Lokal (Ali Sodiqin)

DASAR TEOLOGIS INTEGRASI ISLAM
DAN BUSAYA LOKAL

A.      Pendahuluan
Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Tuhan. Kebudayaan didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia sehingga bersifat antropologis. Islam bukanlah produk budaya, tetapi ajaran Islam mampu mewarnai berbagai aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya, Islam memerlukan media untuk merubah/mengalihkan nilai-nilai universal ke dalam kehidupan. Dari sinilah muncul keragaman kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam mestinya dipahami sebagai sebuah otentisitas Islam yang nyata. Dalm realitas kebudayaan masyarakat Islam, masih ditemukan adanya unsur-usur yang tidak Islami. Dari sinilah muncul pertanyaan apa dan bagaimana kebudayaan Islam itu. Penelusuran analisisnya harus dimulai dari Alquran. Secara historis perwahyuan Alquran tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan masyarakat Arab waktu itu.
B.       Alquran dan Akulturasi
Secara antropologi (ditinjau dari sudut sejarahnya), akulturasi disrtikan sebagai proses sosial ketika suatu kebudayaan tertentu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Kemudian unsur-unsur tersebut diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan itu sendiri.
1.      Masyarakat Arab dan Kebudayaannya
Masyarakat Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu penduduk kota (Ahl al-MadarI) dan penduduk desa (Ahl al-Wabar). Penduduk kota hidupnya lebih maju karena berdagang, sedangkan penduduk desa (suku Badui) hidup di tenda-tenda dan nomaden. Struktur masyarakatnya terbagi ke dalam berbagai suku. Kelompok terkecil disebut hayy yang menempati tenda-tenda. Semua anggota hayy membentuk sebuah klan (qaum). Sejumlah klan yang sedarah kemudian membentuk suku qabilah. Sistem kekerabatan yang berlaku adalah patriarchi. Suku Qurays menjadi suku terkuat pada waktu itu dan menguasai pengelolaan Ka’bah yang pada musim haji mendatangkan keuntungan dari para peziarah. Ka’bah juga menjadi pusat perdagangan. Di bidang keagamaan, masing-masing suku memiliki berhala sendiri-sendiri sebagai dewa yang mereka puja. Tradisi yang sudah mapan adalah:
a.      Tradisi keagamaan
Yang sudah dipraktekan suku Arab antaa lain: haji dan umrah, jumatan, sakralisasi bulan Ramadhan, dan mengagungkan bulan haram (Zulqa’adah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab). Keempat bulan tersebut disepakati sebagai bulan genjatan senjata. Haji dan umrah yang dilakukan orang Arab pra-Islam sama dengan yang dipraktekkan umat Islam saat ini. Tradisi ini dilakukan setiap bulan Zulhijjah. Rangkaian ritualnya terdiri dari: memakai pakaian ihram, mengumandangkan talbiyah, melaksanakan hawaf sebanyak tujuh kali dengan telanjang, menyembelih hewan kurban, melaksanakan sa’i, wukuf, melempar jumrah dan mencium hajar aswad. Masyarakat Arab juga biasa melakukan pertemuan umum pada hari jumat.
b.      Sistem sosial
Sistem kekerabatan di masyarakat Arab adalah patriarchal agnatic, yaitu sekelompok masyarakat menurun melalui garis laki-laki dan berada di bawah otoritas laki-laki yang tua. Laki-laki adalah kepala keluarga dan wanita tidak memiliki hak penuh sebagai warga. Maka dari itu status pereempuan dianggap rendah. Hal yang umum berlaku di masyarakat waktu itu adalah poligami, poliandri dan perbudakan. Poligami yang dipraktekan oleh orang Arab tanpa mengenal batasan jumlah. Masyarakat Arab pra Islam juga mengenal pengangkatan anak. Anak yang diadopsi mempunyai hak yang sama seperti anak kandung. Dalam melaksanakan perkawinan, mereka juga menyerahkan mahar. Perkawinan dikategorikan sebagai transaksi jual beli antara calon suami dengan bapak calon istri. Ketika terjadi talak, hubungan perkawinan tersebut putus tana syarat.
c.       Sistem Hukum
Qiyas adalah penuntutan balas terhadap pelaku pembunuhan. Diyat (al-aqilah) adalah denda yang harus dibayarkan seseorang yang melakukan tindak pidana kepada pihak yang dirugikan. Di bidang muamalah orang Arab juga telah mengenal aturan perdagangan dan pertanian. Dalam perdagangan muncul hukum pinjaman dan bunga. Dalam pertanian masyarakat telah mengenal hukum property. Dibidang hukum keluarga mereka juga mengenal hukum waris.

2.      Agen Akulturasi
Nabi Muhammad saw yang membawa unsur-unsur asing dalam proses ini, nabi mendapat risalah dari Allah untuk disampaikan kepada umatnya. Hal pertama yang dilakukan oleh nabi Muhammad adalah meletakkan sistem sosial yang kuat atas dasar persatuan. Visi Muhammad sebagai agen akulturasi berkembang sebagai respon langsung terhadap realitas kebudayaan masyarakat setempat.

C.      Model dan Dasar Akulturasi
1.      Tradisi yang ditinggalkan
Alquran melarang dan menghentikan tradisi judi, minum khamr, riba, dan perbudakan.

2.      Tradisi yang disempurnakan
Masyarakat Arab yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, sudah memiliki sistem ekonomi yang mapan dan diakui keberadaannya. Ajaran Alquran yang berhubungan dengan perdagangan hanya berusaha mengubah tata cara dan gaya hidup, bukan mengganti sebuah adat istiadat.
Penghormatan terhadap bulan-bulan haram (Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram) juga diapresiasi oleh Alquran. Alquran mengabsahkan keberlakuan bulan-bulan haram tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari syiar-syiar Islam.
Alquran merespon hukum waris melalui dua tahapan, yaitu sistem wasiat dan desain pembagian warisan.

3. Tradisi yang dirubah
Alquran merekonstruksi dan membenahi masalah pakaian dan aurat perempuan, meliputi: aturan pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim serta aturan pakaian perempuan muslim.
Lembaga perkawinan yang terjadi di masyarakat Arab juga direkonstruksi Alquran, yaitu meliputi: model perkawinan, ketentuan mahar, dan aturan tentang talak.
Dalam masalah adopsi, Alquran menyatakan secara tegas bahwa anak angkat tidak dapat berubah statusnya menjadi anak kandung, sehingga kedudukannya bebeda dengan anak kandung. Anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris.
Alquran merespon kebiasaan dalam hal qiyas dan diyat. Keluarga korban tetap memiliki wewenang untuk menuntut balas tetapi tidak boleh melampaui batas. Alquran tetap mengadopsi lembaga hukum qiyas dan diyat tetapi mengubah sistem dan prosedur yang berlaku.

AJARAN dan DZIKIR SUNAN KALIJAGA MELALUI TEMBANG LIR ILIR

oleh:
Esti Pratiwi / 11140092
Ilmu Perpustakaan kelas

PENDAHULUAN
Sunan Kalijaga merupakan wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (mencari penyesuaian) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Salah satu metode dakwah yang digunakan Sunan Kalijaga adalah ajaran dan dzikir melalui tembang lir ilir. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya tembang ini bukan sekedar tembang dolanan biasa. Ada makna mendalam terkandung dalam tembang sederhana ini.
Topik ini dipilih karena kita sebagai umat Islam harus mengerti karya-karya para Wali, salah satunya adalah karya Sunan Kalijaga. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan kepada masyarakat yang belum mengerti dan mengetahui tembang lir ilir, arti, makna dan filosofinya.


PEMBAHASAN
            Berikut ini adalah isi dari tembang lir ilir karya Sunan Kalijaga:
Tembang lir ilir:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar.
Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi.
Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane.
Yo surak-o… surak hiyo...
Arti tembang lir ilir dalam bahasa Indonesia:
Sayup-sayup, Sayup-sayup bangun (dari tidur).
Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi, demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru.
Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu, walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian.
Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan.
Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore.
Selagi sedang terang rembulannya.
Selagi sedang banyak waktu luang.
Mari bersorak-sorak ayo...

Makna tembang lir ilir dalam agama Islam:
Ayo bangkit Islam telah lahir.
Hijau sebagai simbol agama Islam kemunculannya begitu menarik ibarat pengantin baru.
Pemimpin yang mengembala rakyat kenalah Islam sebagai agamamu.
Ia ibarat belimbing dengan 5 sisi sebagai 5 rukun Islam.
Meskipun sulit dan banyak rintangan sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah.
Guna untuk mensucikan diri dari segala dosa dan mensucikan aqidah.
Terapkanlah Islam secara kaffah sampai ke rakyat kecil (pinggiran).
Perbaikilah apa yang telah menyimpang dari ajaran Islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak.
Mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan untuk bertobat.
Dan berbahagialah semoga selalu dirahmati Allah.
Filosofi tembang lir ilir:
1.        Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir.
Sayup-sayup bangun (dari tidur), tanaman-tanaman sudah mulai bersemi. Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali. diri kita masing-masing). Dengan berdzikir maka ada sesuatu yang dihidupkan.
2.        Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru. Hijau adalah simbol warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya. Ada juga penafsiran yang mengatakan bahwa pengantin baru maksudnya adalah raja-raja jawa yang baru masuk Islam.
3.        Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi.
Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu. Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.
4.        Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet. Dengan kalimat ini Sunan memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.
5.        Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir.
Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan. Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
6.        Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. 
Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore. Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Disini Sunan memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.
7.        Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Selagi sedang terang rembulannya, selagi sedang banyak waktu luang
Selagi masih banyak waktu, selagi masih banyak kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu dan bertaubatlah.
8.        Yo surako, surak hiyo.
Mari bersorak-sorak ayo... Bergembiralah, semoga kalian mendapat anugerah dari Tuhan. Disaatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang memperhatikan hidup mereka selama di dunia ini. Jangan hanya berorientasi pada keduniawian melainkan berorientasikan pada kehidupan dalam alam kekekalan. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia akan akhir kehidupan dan membawa pertanggungjawaban pribadi kepada Tuhan. Konsep tersebut dibungkus dengan kalimat, kanggo sebho mengko sore. Sore adalah putaran waktu yang menandai habisnya siang hari sebagai simbol aktifitas. Malam adalah waktu beristirahat yang menggambarkan kematian. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Konsep tersebut dibungkus dalam kalimat, Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Buah blimbing itu berbentuk bintang lima sudut. Ini berbicara mengenai keislaman dengan Rukun Imannya yaitu Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji.

Daftar Pustaka
Didik Lukman Hariri. 2010. Ajaran dan Dzikir Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Kuntul Press.
http://www.solusidistribusi.com/detail_buk.php?jb=281. Diakses tanggal 11 April 2013 pukul 19.00.