Jumat, 24 Mei 2013

QADARIYAH

A.           Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar Tuhan.
Sebenarnya paham Qadariyah sudah ada sebelum munculnya Mu’tazilah, yaitu sejak kaum muslimin mulai mempermasalahkan masalah teologi. Kaum Qadariyah dalam mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadits yang ada hubungannya dengan ilmu tauhid yang menggunakan cara berfikir seperti mereka yang berfikir tentang akhlak, perundang-undangan dan filsafat. Begitu juga dalam mengkaji tingkah laku manusia secara Tauhid. Misalnya dalam masalah kemerdekaan kamauan manusia untuk berbuat. Meraka berpendapat bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatnnya sendiri. Karena itulah, menurut Qadariyah manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa. Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya.
Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah menentukan segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun.[1]
Paham Qadariyah muncul setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga terjadi asimilasi dan penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu yang sama banyak bangsa non Arab masuk Islam, di antara mereka masih banyak terpengaruh agama dan kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat dihindari timbulnya asumsi bahwa paham Qadariyah dipengaruhi oleh teologi dan kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani.[2]
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa: “kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.
Bukti lain bahwa terdapat ayat Alquran dan sunnah Rasulullah sendiri yang memberikan isyarat untuk melakukan ikhtiar. Dalam menginterprestasikan nash yang demikian inilah menyebabkan muncul golongan Qadariyah.[3] 


[1] Ahmad Amin, Fajrul Islam (Singapora: Sulaiman al-Mar’i, 1965), hlm.284.
[2] Ibid., hlm. 284-285.
[3] Yahya, Dirasah fi Ilmi al-Kalam wa al-Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah; 1972), hlm. 99.

B.           PEMUKA QADARIYAH
Suatu riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad al Juhani dan Ghoelan ad Dimasyiqi.[1] Oleh karena itu yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad yang mengembangkannya sekitar tahun 70 H/689 M. Paham ini muncul pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad mengembangkannya di Irak dan Ghoelan di ad-Dimasyiqi daerah Syam. Sementara itu Ahmad Amin menambahkan seorang tokoh bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga itulah yang disebut-sebut sebagai pelopor Qadariyah yang pertama.
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian beragama Islam dan balik lagi keagama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik atau buruk.


[1] Ahmad Amin, op cit., hlm. 284.
C.           Tokoh-tokoh Qadariyah

Berikut ini adalah tokoh-tokoh Qadariyah, yaitu:
v   Ma’bad al Juhani
Menurut riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil paham Qadariyah dari seorang Kristen yang masuk Islam kemudian berbalik lagi (Murtad). Sementara itu Adz Dzahabi dalam “Mizan al-I’tidal” menulis bahwa ia seorang tabi’in yang dapat dipercaya, kendatipun dipandang memberikan contoh yang kurang pas dalam masalah Qadariyah ini.[1]
Ma’bad termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah juga berguru kepada Hasan al Bashri. Ia dinyatakan orang pertama yang membahas tentang qadar. Dari sinilah mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara rasional terhadap Nash Alquran dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan semangat rasional itu ternyata akhir hayatnya dibunuh oleh al-Hajjaj setelah memberontak bersama Ibnu al-Asy’at.[2] Dari sini dapat dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat persoalan politik dan bukan karena dituduh sebagai seorang Zindiq.
v   Ghaylan ad-Dimasqi
Ayah Ghaylan adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh sahabat Utsman bin Affan. Ghaylan tinggal di Damaskus, ia mahir berpidato sehingga banyak orang yang tertarik kepadanya dan mengikuti paham Qadariyah ini. Karena paham ini dianggap menyesatkan, maka Hisyam bin Abdul Malik menahan dan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangannya, kemudian dibunuh dan di salib.[3]


[1] Ibid
[2] Al Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy Fi al-Islam (Kairo: t.p. 1966), hlm. 318-319
[3] Ahmad Amin, op cit., hlm. 318
 
D.           Ajaran-ajaran (DOKTRIN) Aliran Qadariyah

Aliran Qadariyah ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dalam perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan baik dan buruk, iman, kufur, dan taat atau maksiat.[1] Mereka juga berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang dari Allah, sedangkan perbuatan jahat datang dari manusia itu sendiri.[2]
Pendapat Ghaylan yang berkenaan dengan iman tidak jauh berbeda dengan aliran Murji’ah, yang menyatakan iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak boleh mengaku paling utama dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah sama dengan aliran Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qadrah dan lain-lain. Ia berpendapat sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah Alquran, aliran ini berpendapat bahwa Alquran itu makhluq, maka tidak bersifat qadim. Sementara itu dalam masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang berhak menjadi pemimpin selama berpegang pada Alquran dan Sunnah serta mendapat dukungan umat.[3]
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:
a.              Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman, perang unta antara Khalifah Ali dan Siti ‘Aisyah janda Nabi saw. dan perang Shiffa antara Khalifah Ali dan Mu’wiyah yang menyebabkan banyak orang bertanya : Siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin?
Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij dijawab bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Sedangkan Washil bin ‘Atha, seorang tokoh Qadariyah menyatakan bahwa yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukannya antara kafir dan mukmin, tapi kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
b.             Allah swt tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula Allah swt berhak disebut adil.
Boleh jadi pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin Shafwan yang ekstrim yang menyatakan sebaliknya yaitu bahwa tidak ada bedanya dengan batu yang menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut keterangan Washil bin ‘Atha telah mengutus beberapa anak muridnya datang ke Khurusan untuk bertukar pikiran atu berdebat dengan Jaham bin Shafwan.
c.              Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah swt itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar dan melihat dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu, menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin sekali yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu adalah karena pada zaman mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah swt itu jasmani dan tidak memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-siafat makhluk, antara lain ialah Mutazil bin Sulaiaman yang hidup sezaman dengan tokoh Qadariyah.
d.             Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu memiliki sifat yang menyebabakannya baik atau buruk. Misalnya, benar itu memiliki sifat-sifat sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkannya buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin dan menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima dan memberikan makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan, walaupun hal itu semua tidak diajarkan oleh agama. Bahkan orang yang mulhid (tidak berTuhan) pun begitu anggapannya. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi buruk karena larangannya. Agama pun tidak bisa membuat sesuatu menjadi terbalik, seperti yang baik menjadi buruk karena dilarangnya atau yang buruk menjadi baik karena diperintahnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu. Artinya, kalau sesuatu itu buruk tentu agama melarangnya, dan kalau sesuatu itu baik tentu saja agama akan memerintahkannya. Aliran Qadariyah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar luas di seluruh Irak atas prakasa Washli bin ‘Atha dan ‘Amr bin Ubaid pada tahun 105 H atau tahun 723 M.

[1] Al-Syahrastani, al-milal wa al-Nihal, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), hlm. 47
[2] Yahya, op cit., hlm. 100.
[3] Ali Mustafa al Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Mesir Mathba’ah Ali, Shabih wa Auladih, t.t.), hlm. 340.
 DAFTAR PUSTAKA

Zainudin. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta.
______2005. Tauhid. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Projodikoro, Suryanto HMS. 1997. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam. Yogyakarta: Sumbang Asih Offset.

3 komentar:

  1. Aliran sesat..qadariyah dan jabariyah...campur aduk antara paham yunani ,masehi/nasrani dengan islam...berarti sudah menodai islam itu sendiri

    BalasHapus
  2. Aliran sesat..qadariyah dan jabariyah...campur aduk antara paham yunani ,masehi/nasrani dengan islam...berarti sudah menodai islam itu sendiri

    BalasHapus