A.
Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari
bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian
termonologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan
atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus
tunduk pada qadar Tuhan.
Sebenarnya paham Qadariyah sudah ada sebelum
munculnya Mu’tazilah, yaitu sejak kaum muslimin mulai mempermasalahkan masalah
teologi. Kaum Qadariyah dalam mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dan
Hadits yang ada hubungannya dengan ilmu tauhid yang menggunakan cara berfikir
seperti mereka yang berfikir tentang akhlak, perundang-undangan dan filsafat.
Begitu juga dalam mengkaji tingkah laku manusia secara Tauhid. Misalnya dalam
masalah kemerdekaan kamauan manusia untuk berbuat. Meraka berpendapat bahwa
manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia
bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatnnya sendiri. Karena itulah, menurut
Qadariyah manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik
dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa. Sedangkan
nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran
sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia
itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan
segala perbuatannya.
Dalam teologi modern
faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free
will, freedom of willingness atau
fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk
berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan kepada kelompok
yang menyatakan bahwa qadar Allah
telah menentukan segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang
jahat sekalipun.[1]
Paham Qadariyah muncul
setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga terjadi asimilasi dan
penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu yang sama banyak bangsa
non Arab masuk Islam, di antara mereka masih banyak terpengaruh agama dan
kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat dihindari timbulnya
asumsi bahwa paham Qadariyah dipengaruhi
oleh teologi dan kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani.[2]
Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh
orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu
menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka
anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah
ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa: “kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian
sebagai golongan yang tersesat.
Bukti lain bahwa terdapat
ayat Alquran dan sunnah Rasulullah sendiri yang memberikan isyarat untuk
melakukan ikhtiar. Dalam menginterprestasikan nash yang demikian inilah
menyebabkan muncul golongan Qadariyah.[3]
[1]
Ahmad Amin, Fajrul Islam (Singapora:
Sulaiman al-Mar’i, 1965), hlm.284.
[2]
Ibid., hlm. 284-285.
[3]
Yahya, Dirasah fi Ilmi al-Kalam wa
al-Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah; 1972), hlm.
99.
B.
PEMUKA
QADARIYAH
Suatu riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama
kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad al Juhani dan Ghoelan ad Dimasyiqi.[1]
Oleh karena itu yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad
yang mengembangkannya sekitar tahun 70 H/689 M. Paham ini muncul pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad
mengembangkannya di Irak dan Ghoelan di ad-Dimasyiqi daerah Syam. Sementara itu
Ahmad Amin menambahkan seorang tokoh bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga
itulah yang disebut-sebut sebagai pelopor Qadariyah yang pertama.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti
dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan
faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian
beragama Islam dan balik lagi keagama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan
Ghailan mengambil faham ini. Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan
dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang
dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini
menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau
bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas berdasarkan
catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas antara berbuat baik atau buruk.
[1]
Ahmad Amin, op cit., hlm. 284.
C.
Tokoh-tokoh Qadariyah
Berikut
ini adalah tokoh-tokoh Qadariyah, yaitu:
v Ma’bad
al Juhani
Menurut riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil paham
Qadariyah dari seorang Kristen yang masuk Islam kemudian berbalik lagi
(Murtad). Sementara itu Adz Dzahabi dalam “Mizan al-I’tidal” menulis bahwa ia
seorang tabi’in yang dapat dipercaya, kendatipun dipandang memberikan contoh
yang kurang pas dalam masalah Qadariyah ini.[1]
Ma’bad termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah
juga berguru kepada Hasan al Bashri. Ia dinyatakan orang pertama yang membahas
tentang qadar. Dari sinilah mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara
rasional terhadap Nash Alquran dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan
semangat rasional itu ternyata akhir hayatnya dibunuh oleh al-Hajjaj setelah
memberontak bersama Ibnu al-Asy’at.[2]
Dari sini dapat dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat persoalan
politik dan bukan karena dituduh sebagai seorang Zindiq.
v Ghaylan
ad-Dimasqi
Ayah Ghaylan adalah seorang budak yang telah
dimerdekakan oleh sahabat Utsman bin Affan. Ghaylan tinggal di Damaskus, ia
mahir berpidato sehingga banyak orang yang tertarik kepadanya dan mengikuti
paham Qadariyah ini. Karena paham ini dianggap menyesatkan, maka Hisyam bin
Abdul Malik menahan dan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangannya,
kemudian dibunuh dan di salib.[3]
D.
Ajaran-ajaran (DOKTRIN) Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah ini mengajarkan bahwa manusia
memiliki kehendak dalam perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan
baik dan buruk, iman, kufur, dan taat atau maksiat.[1] Mereka
juga berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang dari Allah, sedangkan
perbuatan jahat datang dari manusia itu sendiri.[2]
Pendapat Ghaylan yang berkenaan dengan iman tidak
jauh berbeda dengan aliran Murji’ah, yang menyatakan iman itu tidak bisa
bertambah dan tidak bisa berkurang. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak
boleh mengaku paling utama dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah sama dengan
aliran Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qadrah dan
lain-lain. Ia berpendapat sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah
Alquran, aliran ini berpendapat bahwa Alquran itu makhluq, maka tidak bersifat
qadim. Sementara itu dalam masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang
berhak menjadi pemimpin selama berpegang pada Alquran dan Sunnah serta mendapat
dukungan umat.[3]
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam
halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:
a.
Orang yang berdosa besar itu bukan kafir
dan bukan mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman,
perang unta antara Khalifah Ali dan Siti ‘Aisyah janda Nabi saw. dan perang
Shiffa antara Khalifah Ali dan Mu’wiyah yang menyebabkan banyak orang bertanya
: Siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu
mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua
peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin?
Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij
dijawab bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya
kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap
mukmin. Sedangkan Washil bin ‘Atha, seorang tokoh Qadariyah menyatakan bahwa
yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukannya antara kafir dan mukmin,
tapi kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
b.
Allah swt tidak menciptakan amal
perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka yang menciptakan segala amal
perbuatannya dan karena itulah manusia akan menerima balasan baik (surga) atas
segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala
amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula Allah swt berhak disebut
adil.
Boleh jadi pendapat mereka itu
dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin Shafwan yang ekstrim yang menyatakan
sebaliknya yaitu bahwa tidak ada bedanya dengan batu yang menerima apa saja
yang berlaku atas dirinya. Menurut keterangan Washil bin ‘Atha telah mengutus
beberapa anak muridnya datang ke Khurusan untuk bertukar pikiran atu berdebat
dengan Jaham bin Shafwan.
c.
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah
itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly,
seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya
sendiri. Menurut mereka Allah swt itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar
dan melihat dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas
zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim
itu, menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu,
padahal Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala
keadaan. Mungkin sekali yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu adalah
karena pada zaman mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah swt itu
jasmani dan tidak memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-siafat makhluk,
antara lain ialah Mutazil bin Sulaiaman yang hidup sezaman dengan tokoh
Qadariyah.
d.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal
manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun
Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu memiliki sifat yang
menyebabakannya baik atau buruk. Misalnya, benar itu memiliki sifat-sifat
sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki
sifat sendiri yang menyebabkannya buruk. Oleh karena itulah maka semua orang
yang berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin
dan menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap
perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima dan
memberikan makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan,
walaupun hal itu semua tidak diajarkan oleh agama. Bahkan orang yang mulhid (tidak
berTuhan) pun begitu anggapannya. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi buruk
karena larangannya. Agama pun tidak bisa membuat sesuatu menjadi terbalik,
seperti yang baik menjadi buruk karena dilarangnya atau yang buruk menjadi baik
karena diperintahnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti
keadaan segala sesuatu. Artinya, kalau sesuatu itu buruk tentu agama
melarangnya, dan kalau sesuatu itu baik tentu saja agama akan memerintahkannya.
Aliran Qadariyah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar luas di seluruh Irak
atas prakasa Washli bin ‘Atha dan ‘Amr bin Ubaid pada tahun 105 H atau tahun
723 M.
[1]
Al-Syahrastani, al-milal wa al-Nihal,
(Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), hlm. 47
[2]
Yahya, op cit., hlm. 100.
[3]
Ali Mustafa al Ghurabi, Tarikh al-Firaq
al-Islamiyyah (Mesir Mathba’ah Ali, Shabih wa Auladih, t.t.), hlm. 340.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainudin. 1996. Ilmu
Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta.
______2005. Tauhid.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Projodikoro,
Suryanto HMS. 1997. Aliran-Aliran Dalam
Ilmu Kalam. Yogyakarta: Sumbang Asih Offset.
PAHAM YANG DILUPAKAN .....
BalasHapusAliran sesat..qadariyah dan jabariyah...campur aduk antara paham yunani ,masehi/nasrani dengan islam...berarti sudah menodai islam itu sendiri
BalasHapusAliran sesat..qadariyah dan jabariyah...campur aduk antara paham yunani ,masehi/nasrani dengan islam...berarti sudah menodai islam itu sendiri
BalasHapus